SEMINAR PANCASILA DI SEMARANG Oleh: Dr. Adian Husaini
SEMINAR PANCASILA DI SEMARANG
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada 16 Februari 2015 lalu, saya memenuhi undangan Seminar tentang Pancasila yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian MPR dan Universitas Islam Sultan Agung (Unisula) Semarang. Tempat acaranya di Kota Semarang juga. Di antara yang hadir sebagai pembicara adalah Prof. Jimly ash-Shiddiqy, Prof. Ali Mansur dari Unisula, Prof. Irianto Widisuseno dari Universitas Diponegoro Semarang, Ahmad Zaky Siraj, anggota Komisi III DPR RI, dan lain-lain.
Pada kesempatan dan forum yang penting itu, saya menyampaikan hal penting untuk dipikirkan dan dipertimbangkan oleh para elite negara Indonesia, khususnya kalangan akademisi dan pejabat negara yang duduk di MPR. Yakni, bagaimana mendudukkan Pancasila secara tepat dengan agama-agama yang ada di Indonesia, khususnya hubungan Pancasila dengan agama Islam. Itu perlu, agar sosialisasi Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tidak mengalami kegagalan sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Baru dan orde-orde sebelumnya.
Secara terbuka, saya mengajak hadirin saat itu untuk berpikir secara jujur, apakah Pancasila memang harus diletakkan sebagai worldview (pandangan hidup/pandangan dunia/pandangan alam) dan pedoman amal tersendiri, yaitu pandangan hidup Pancasila, selain worldview dan pedoman amal Islam? Seringkali kita mendengar ungkapan, bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia. Bahkan, sering dikatakan, bahwa Pancasila adalah juga panduan moral bangsa Indonesia.
Misalnya, dalam TOR Seminar yang dikirimkan kepada saya disebutkan: “Pancasila disamping sebagai ideologi, dasar dan falsafah negara, juga menjadi cita cita moral dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang selama bangsa Indonesia ada telah memberi pandangan dan arah kepada bangsa dan negara kita menjalani kehidupan bernegara sesuai dengan jati dirinya yang membedakan dengan bangsa bangsa lain di dunia. Seiring dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila telah menjadi sumber primer dalam memecahkan persoalan bangsa yang bersifat multidimensional. Harus diakui, Pancasila mempunyai nilai historis yang kuat yang dapat meningkatkan spirit kebangsaan, tetapi di sisi lain Pancasila mempunyai nilai spiritual-ideologis yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk meneropong persoalan kekinian dan kemasadepanan.
Di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi saat ini, dalam pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Pancasila biasa diletakkan sebagai worldview dan pedoman moral tersendiri. Sebagai contoh, dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SD/MI Kelas IV (Buku Teks Pengayaan Kurikulum 2013), disebutkan bahwa, “Sila-sila Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman berperilaku bermasyarakat. Nilai-nilai luhur yang mencerminkan pengamalan sila-sila Pancasila sudah seharusnya dilaksanakan dengan baik oleh setiap warga negara.” (hlm. 10).
Pada tahun 1978, ada peristiwa politik nasional yang sangat menghebohkan, yaitu kontroversi seputar pengesahan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau dikenal juga dengan istilah “Ekaprasetia Pancakarsa”. Disebutkan dalam TAP MPR tersebut, bahwa makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai berikut:
1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
5. Menolak kepercayaan atheisme di Indonesia.
Inilah salah satu contoh penafsiran Pancasila sila Pertama yang pernah diajarkan di sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai bagian dari proyek Penataran P4 di masa Orde Baru. Sejak duduk di bangku SMP sampai dengan menempuh kuliah di Perguruan Tinggi, sampai saya bertugas sebagai wartawan di Istana Negara, masalah Moral Pancasila i
tu sangat ditekankan. Di awal perkuliahan, saya diwajibkan mengikuti Penataran P4 program 100 jam, dan saya dinyatakan lulus dengan baik.
Tapi, sebagai aktivis mahasiswa Muslim, saya dipaksa untuk memahami, betapa Pancasila dipaksakan sebagai nilai-nilai sekuler di kampus. Pemerintah Orde Baru ketika itu – dengan senjata Pancasila – melarang siswi muslimah berjilbab di sekolah. Dengan alasan pengamalan Pancasila pula, kegiatan-kegiatan keislaman dibatasi dan diawasi dengan ketat. Islam dilarang dijadikan sebagai asas partai politik dan organisasi massa. Meskipun akhirnya pemerintah Orde Baru lebih akomodatif terhadap aspirasi Islam, kejatuhan pemerintah Orde Baru diikuti juga dengan hancurnya pamor Pancasila di tengah masyarakat.
Setelah Orde Baru runtuh, maka penafsiran Pancasila dengan model Penataran P4 sudah tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah atau Parguruan Tinggi. Sepanjang sejarahnya, Pancasila memang selalu memunculkan beragam penafsiran. Banyak yang bicara tentang pentingnya berpegang pada Pancasila, namun dengan penafsiran yang bermacam-macam.
*
Setelah Orde Baru runtuh, tampaknya, Pancasila masih ditetapkan sebagai pandangan hidup dan pedoman amal bagi umat Islam. Dalam seminar di Semarang itu saya memang hanya menyampaikan pandangan dan aspirasi sebagai seorang Muslim. Saya tidak berani mengklaim mewakili agama-agama lain. Ketika itu, saya memohon dengan hormat, agar para petinggi kita di MPR, khususnya mereka yang muslim, berani berpikir serius, bertanya kepada hati nurani masing-masing, benarkah Pancasila bisa dijadikan sebagai pandangan hidup (worldview) dan pedoman moral bangsa Indonesia? Sementara, pada saat yang sama, setiap Muslim juga diajarkan oleh agamanya, bahwa Islam adalah pandangan hidup dan juga pedoman amal bagi setiap muslim.
Sebenarnya, dalam sejarah perjalanan Pancasila, telah terjadi diskusi yang panjang dan menarik tentang masalah ini, khususnya terkait dengan kedudukan Islam dan hubungannya dengan Pancasila. Menurut analisis Adnan Buyung Nasution, terjadinya polemik dan konfrontasi ide antara Islam dan Pancasila dalam sejarah di Indonesia, adalah akibat dikembangkannya konsep Pancasila sebagai doktrin atau pandangan dunia (worldview) yang komplek dan khas, sehingga berbenturan dengan pandangan dunia lain, seperti Islam. Lebih jauh, Adnan Buyung Nasution menulis:
”Saya berpendapat bahwa kejadian ini sebagian ada hubungannya dengan kenyataan bahwa sejak tahun 1945 dan khususnya pada tahun-tahun berlangsungnya kampanye pemilihan umum, Pancasila dikembangkan menjadi doktrin atau pandangan dunia yang kompleks, yang berbeda dengan padangan-pandangan dunia lain. Perbedaannya dengan Islam, yang pada dasarnya sudah mempunyai pandangan dunia yang khas, menjadi semakin tajam karena setiap pandangan dunia selalu akan dianggap lebih benar, lebih lengkap dan sempurna dibandingkan dengan pandangan dunia lain oleh para penganutnya. Karena itu, perkembangan Pancasila menjadi doktrin dan pandangan dunia yang khas sebenarnya tidak menguntungkan, kalau dinilai dari tujuannya mempersatukan bangsa. Perkembangan doktrinal Pancasila mengubahnya – atau sekurang-kurangnya cenderung mengubahnya – dari platform bersama ideologi politik dan aliran pemikiran yang berbeda-beda di Indonesia, sesuai dengan rumusan pertama yang disampaikan oleh Soekarno pada tahun 1945 (Yamin I, 1959:61-81), menjadi ideologi yang khas yang bertentangan dengan ideologi lain yang ada di Indonesia. Pancasila juga menjadi saingan utama bagi agama Islam, yang bagi para penganutnya merupakan wahyu Ilahi mengenai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat!” (Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 63-64).
Suatu worldview (Pandangan Hidup/Pandangan Alam/pandangan dunia/weltanchauung) memiliki unsur-unsur tentang pemahaman manusia tentang dirinya, Tuhannya, dan alam ini; tentang asal-usul manusia, tujuan hidupnya, dan tentang kehidupan setelah kematiannya. Semua itu berakar pada pemaham
an tentang Tuhan. Jadi, konsep Tuhan itulah yang menentukan pemahaman manusia tentang aspek-aspek kehidupan lainnya, termasuk pemahaman terhadap dirinya.
Dalam hal ini, di Indonesia telah muncul pemahaman yang beragam tentang Tuhan dan Tuhan Yang Maha Esa, yang bersumber pada ajaran agama dan budaya. Tetapi, menurut hemat penulis, jika ditelaah dengan cermat dari segi sejarah penyusunan teksnya dan masuknya sejumlah kosa-kata kunci dalam Islam (Islamic basic vovabularies), akan tampak jelas, besarnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila. Itu misalnya, terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting.
Contoh ”kerancuan” perumusan pandangan hidup bangsa Indonesia terjadi pada perumusan tentang asal-usul manusia Indonesia. Hingga kini, dalam kurikulum pendidikan nasional, masih dikembangkan pandangan Darwinisme, bahwa manusia Indonesia berasal dari hominid, makhluk sejenis monyet. Di tulis dalam satu Buku Sejarah kelas X (Kurikulum 2013):
“Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera.”
Pendapat itu dikutip dari pernyataan Charles Darwin (1809-1882). Ditampilkanlah gambar “nenek moyang bangsa Indonesia” berupa sebuah keluarga homo erectus yang mulutnya monyong, tanpa balutan baju dan celana. Entah bagaimana prosesnya, mulut kita sekarang tidak monyong, seperti gambar itu? Apakah menurut Pandangan hidup Pancasila, nenek moyang bangsa Indonesia adalah sejenis kera? Tentu saja, saya sangat keberatan. Sebab, saya bukan bani monyet, tapi saya yakin, saya adalah bani Adam.
Cara pandang terhadap asal-usul manusia semacam ini terjadi karena pemahaman yang menolak wahyu Tuhan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dan itu berakar dari pemahaman terhadap Tuhan. Siapakah sebenarnya Tuhan Yang Maha Esa yang dimaksud dalam Pancasila? Ketika kita saat ini ingin kembali menekankan kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka perlu dipertegas, pemahaman hidup yang bagaimana, apakah bersumber pada wahyu atau budaya? Kita pun perlu bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.
Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut. Menjadikan Pancasila sebagai Pandangan Hidup tersendiri yang terlepas dari pandangan hidup Islam, akan menimbulkan ”benturan nilai” pada diri seorang Muslim yang menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya.
Bagi seorang Muslim, ajaran Islam sudah cukup untuk menjadi pandangan hidupnya. Artinya, jika seorang Muslim memiliki pandangan hidup Islam, maka itu secara otomatis juga memiliki pandangan hidup Pancasila. Sebab, negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid). Jika Pancasila juga sebuah pandangan hidup dan Islam juga pandangan hidup, lalu pandangan hidup mana yang benar, mana yang lebih sempurna? Jika rakyat Indonesia yang muslim dipaksa untuk memahami dan memeluk Pandangan hidup Pancasila dan pada saat yang sama juga harus berpandangan hidup Islam, maka suatu ketika akan muncul benturan nilai dalam diri seorang Muslim.
Karena itu, lebih tepat dan maslahat bagi bangsa Indonesia, jika Pancasila diletakkan sebagai ”common platform” kenegaraan dengan mendorong setiap pemeluk agama untuk menjadikan agamanya masing-masing sebagai Pandangan Hidup-nya. Dengan cara itulah, maka Pancasila akan semak
in kokoh posisinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang Muslim yang beriman dan bertaqwa, taat pada ajaran agamanya, secara otomatis dianggap telah menjadi Pancasilais sejati, meskipun tidak pernah mengikuti pelajaran Pancasila. Sebab, Islam pun memerintahkan agar umatnya menjadi warga negara yang baik, dimana pun berada. Warga negara yang baik bukan yang taat secara membabi buta begitu saja kepada penguasa. Jika penguasa salah, maka ia wajib mengingatkan. Jika penguasa betul, maka disokongnya.
Itulah yang antara lain ditegaskan Buya Hamka, dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas (Dewan Pertahanan Keamanan Nasional), pada 25 Agustus 1976: “Ada yang sebagai orang kecemasan menerangkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang kita cantumkan dalam UUD ’45, pasal 29 itu bukanlah Tuhan sebagai yang diajarkan oleh suatu agama. Ada pula yang menafsirkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu bersumber dari jiwa bangsa Indonesia sendiri, lama sebelum agama Islam datang ke Indonesia. Tafsir-tafsir yang berbagai ragam itu kadang-kadang dengan tidak disadari telah menyinggung perasaan orang yang beragama, seakan-akan Tuhan sepanjang ajaran agama itu tidaklah boleh dicampur-aduk dengan Tuhan Kenegaraan. Maka, supaya perselisihan ini dapat diredakan, atau sekurang-kurangnya dapat mengembalikan sesuatu kepada proporsinya yang asal, ingat sajalah bahwa dalam Preambule UUD’45 itu telah dituliskan dengan jelas: “atas berkat rahmat Allah”. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.” ( Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: GIP), hlm. 224.
Meletakkan Pancasila sebagai pedoman moral bangsa tersendiri juga memunculkan persoalan yang serius dalam kaitan dengan kedudukan agama sebagai pedoman amal dan moral bagi pemeluknya. Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”. Isinya, mengupas dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.
”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”
Pertanyaan ”bagaimana cara menggosok gigi menurut Pancasila ” sangat penting untuk direnungkan. Sebab, kita akhirnya kesulitan untuk merumuskan apa itu ”moral Pancasila”, siapa contoh teladan dalam pelaksanaan ”moral Pancasila”. Bagi seorang Muslim, moral atau karakter diatur oleh ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah saw adalah suri tauladan dalam pendidikan akhlak. Islam punya konsep dan contoh yang jelas dan sempurna dalam pendidikan adab dan akhlak.
Karena itu, dalam seminar Pancasila di Semarang itu, saya mengusulkan, agar pemerintah tidak perlu memaksakan pendidikan karakter Pancasila kepada umat Islam. Sebab, umat Islam sudah memiliki konsep pendidikan akhlak sendiri. Pemerintah cukup mendorong agar pemeluk agama, khususnya Islam, menerapkan pendidikan adab dan akhlak dengan sungguh-sungguh, sehingga mereka menjadi muslim yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, sebagaimana ditegaskan dalam tujuan pendidikan nasional (UU No 20/2003).
Kita berharap, ke depan tidak ada dikotomi lagi bagi seorang Muslim dalam menentukan standar amalnya. Orang yang baik menurut Islam, secara otomatis juga baik menurut Pancasila. JIka Pancasila terus dibenturkan dengan Islam, kita khawatir, lagi-lagi, sosialisasi Pancasila sebagai Pandangan hidup dan pedomana amal bagi umat Islam ini sebenarnya m
erupakan kampanye sekularisasi dan liberalisasi terselubung. Jika itu maksudnya, maka akan sulit berhasil. Kita sepatutnya bersedia belajar dari sejarah. Wallahu a’lam bish-shawab. Uraian lebih jauh tentang Pancasila silakan membaca buku saya: Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: GIP, 2010). (Jakarta, 27 februari 2015).
Komentar
Posting Komentar