ADAKAH PENDIDIKAN SEKS DALAM ISLAM ?

Menarik untuk disimak, esensi pendidikan seks melahirkan sikap pro dan kontra yang terus bergulir, setelah beredarnya video porno artis Ariel, Luna Maya dan Cut Tari di internet. Dan lebih mengejutkan ternyata yang melihat kebanyakan anak sekolah, mulai dari tingkatan SD, SMP dan SMA. Bagi sebagian pihak pendidikan seks tabu untuk dibicarakan secara vulgar, pendidikan seks dapat merangsang generasi anak untuk berpetualang seks. Pihak lain menyatakan, penyimpangan seks pada anak disebabkan kebutaan mereka terhadap seks education. Kerancuan pemahaman akan terus berlangsung jika tidak ada satu kepastian bahwa pendidikan seks itu memang penting bagi siapapun. Terlepas dari subyektifitas masing-masing pihak, kita tidak mungkin menafikan bahwa gharizah jinsiyyah (insting seksualitas) merupakan fitrah Allah atas setiap Bani Adam, dengan anugrah ini Allah memelihara komunitas manusia di bumi. Sehingga manusia terbedakan menjadi dua kelompok, pertama kaum mukmin yang menjaga kehormatan dirinya sehingga dapat membandingkan kenikmatan dunia dengan kenikmatan tiada tara di akhirat kelak. Kedua, kaum yang terjerembab ke dalam lembah kehinaan , lebih rendah dari hewan ternak. Diantara bukti kesempurnaan hikmah-Nya dan keluasan rahmat-Nya, Ia telah menggariskan satu bimbingan tarbiyah jinsiyyah melalui kalam-Nya dan sunnah nabi. Bimbingan sarat hikmat atas fitrah yang telah Ia ciptakan atas Bani Adam bertujuan agar manusia tidak menjadi budak hawa nafsu dan tawanan syahwat . Islam tidak mengenal kerahiban, Islam berusaha keras menjauhkan diri dari kesendirian seorang umat, karena berlawanan dengan fitrah manusia. Islam juga tidak menghalalkan seks bebas ala barat (zina), karena zina merupakan jalan terburuk yang hina. Di dalamnya terdapat pencampuran aduk nasab serta ancaman stabilitas umat manusia di semesta ala mini. Al-Qur’an telah menyinggung permasalahan pendidikan seks dalam beberapa tempat , dianataranya: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia ciptakan ? Dia ciptakan dari air yang terpencar, yang keluar dari antara tulang sulbi (laki-laki) dan tulang dada (perempuan).” (At-Tariq 5-7) Lalu dalam firman-Nya yang melarang berhubungan badan (berjima’) saat istri sedang haidh, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah,” Haidh itu adalah suatu kotoran .“ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci, maka campurilah mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah 222) Dalam hadits juga telah di jelaskan dengan gamblang dan detail permasalahan tarbiyah jinsiyyah ini, mulai dari perintah memisahkan tempat tidur anak laki-laki dengan anak perempuan, perintah menundukkan pandangan , etika bercumbu dan bersenggama, sampai pada permasalahan bersuci dari hadast. Satu hal yang pasti, Rasulullah tidaklah mengajarkan kepada umatnya kecuali kebaikan dan kemaslahatan. Beliau tidak berucap menurut hawa nafsunya, melainkan dari wahyu yang beliau terima (An-Najm 3-4) Dari sinilah kita dapat menarik garis kesimpulan, bahwa tarbiyah jinsiyyah memiliki urgensi tersendiri dalam proses pendidikan dan pembentukan generasi muslim yang shalih. Beda dengan pendidikan seks versi barat yang lebih sekedar pornografi dan mengumbar hawa nafsu semata. Realita membuktikan betapa pendidikan seks yang dipropagandakan justru semakin menambah kerusakan tatanan sosial masyarakat. Semestinya para orang tua dan pendidik muslim memperhatikan manhaj nubuwah dalam permasalahan pendidikan seks ini. Sehingga dapat memberikan arahan yang benar, berupa aplikasi dari manhaj penuh hikmah secara bertahap. Sesuai dengan fase-fase perkembangan dan pertumbuhan buah hati kita. PENDIDIKAN SEKS DALAM ISLAM Dalam konteks pendidikan seks dalam Islam ada beberapa fase yang harus dilalui oleh setiap manusia, masing-masing fase tersebut memiliki karakteristik yang khas. FASE TAMYIZ Yakni fase ketika anak telah mampu membedakan antara kejelekan dan kebaikan. Pada fase ini orang tua harus mengenalkan kepada putra-putrinya beberapa adab, antara lain: 1. Adab Isti’dzan (meminta ijin) pada waktu-waktu tertentu, yakni pada tiga waktu yang disebutkan ayat berikut, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta ijin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagaian kamu (ada keperluan) kepada sebagaian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nur 58) 2. Pemisahan tempat tidur anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Perintahkan anak kalian sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, pukullah mereka jika mereka meninggalkannya pada usia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud). 3. Melatih anak menjaga aurat, pada dasarnya seluruh beban taklif (kewajiban syariat) berlaku ketika seseorang telah mencapai usia baligh. Hanya saja pelatihan sejak dini memudahkan seseorang untuk melaksanakan kewajiban tersebut, manakala kewajiban itu telah berlaku atasnya. Sebagaimana yang telah di contohkan Rasulullah pada hadits diatas (tentang perintah melatih anak sholat pada usia tujuh tahun). Maka yang harus di perhatikan oleh orang tua hendaknya menjaga aurat di hadapan anak-anak dengan tidak berpakaian seronok di hadapan anak-anak. Karena hal itu akan terpatri dalam ingatan mereka, ibarat kaset kosong anak memiliki daya rekam menakjubkan. Jadi orang tua merupakan guru pertama bagi anak kita. FASE MURAHAQAH (PUBERTAS) Yakni fase peralihan antara masa tamyiz dengan masa dewasa, pada fase ini anak-anak mengalami perubahan psikologis yang perlu mendapat perhatian khusus. Fase ini merupakan masa labil masa pencarian jati diri bagi anak. Maka adab-adab yang harus dikenalkan pada fase ini anatara lain: 1. Adab ghadhul bashar (menundukkan pandangan) dan bahaya Ikhtilat (pencampuran antara laki-laki dan perempuan bukan mahram. Allah berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka’, sesunggunya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”(An-Nur 30) Sahabat Ibnu ‘Abbas mengisahkan, Fadhl bin Al ‘Abbas pernah membonceng Rasulullah kemudian dating seorang wanita Khatsa’am, bertanya kepada beliau. Fadhl pun melihat wanita itu, begitu juga sang wanita melihat kea rah Fadhl. Maka Rasulullah memalingkan wajah Fadhl kea rah lain. Wanita tadi bertanya, “ya Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji yang Allah bebankan kepada hamba-Nya telah sampai atas ayahku, akan tetapi ayahku telah renta dan tak mampu lagi berkendara, apakah boleh jika aku menunaikan haji untuknya ?” Beliau menjawab, “ya”. (HR.Bukhari-Muslim) Coba kita perhatikan, bagaimana usaha Rasulullah memalingkan wajah Fadh ketika pemuda itu Tergiur memandang dan menikmati kecantikan wanita wanita Khats’amiyyah tersebut. Adapun ikhtilat, hadits-hadits yang melarangnya banyak diriwayatkan, “ Janganlah kalian Masuk menemui wanita ! seorang laki-laki Anshar bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana dengan Saudara ipar ? Beliau menjawab : Saudara ipar laksana maut.” (HR. Bukhari- Muslim) 2. Peringatan tegas tentang haramnya zina. Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Aku tidak mengetahui (setelah) pembunuhan sesuatu yang lebih besar dosanya dari pada perzinaan.” Allah telah mengokokohkan keharamanya dalam firmannya : “Dan orang-orang yang tidak menyembah illah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya) (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan mereka itu diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Al-Furqon 68-70) Dalam ayat ini Allah mensejajarkan orang yang melakukan dosa perjinaan dengan dosa syirik dan membunuh jiwa. Untuk itu ia menjadikan balasan keabadian dalam siksa yang dilipatgandakan dan pelakunya tidak akan dapat ditolong dari api neraka kecuali jika bertaubat dan beramal shaleh. 3. Mengenalkan kepada anak tentang tanda-tanda baligh dan konsukuensi hukum yang bertautan dengannya. Seperti ketika bersuci dari haidh dan jenabah ataupun larangan-larangan yang berlaku bagi wanita haidh dan nifas serta orang yang junub. FASE BALIGH Yakni fase ketika organ-organ seksualitas telah mencapai kematangan, pencapaian usia baligh ini bersifat variatif. Sebagaian individu ada yang telah mencapai baligh pada masa pubertas, ada juga yang mencapainya tak lama berselang dari fase tamyis. Namun yang jelas pada fase ini setiap individu terkena beban taklif. Beberapa adab yang harus diajarkan pada fase ini anatara lain: 1. Adab isti’dzan secara umum (setiap saat), berdasarkan firman-Nya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta ijin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nur 59) 2. Adab-adab pernikahan. Jika orang tua melihat buah hati mereka telah siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan, maka ahsan (alangkah baiknya) anak dianjurkan segera menikah. Karena dengan menikah dapat menjaga diri, agama serta kehormatannya. Namun pada dasarnya orang tua tidak boleh memaksa anak untuk menikah terutama anak gadis, jika memang belum memiliki kecenderungan. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sebelum diminta persetujuannya dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sebelum diminta ijinnya. Para Sahabat bertanya, ‘ya Rasulullah, bagaimana tanda persetujuannya ?’ Beliau menjawab, ‘Tanda persetujuannya ialah diamnya.”(HR.Bukhari –Muslim) 3. Adab isti’afaf (menjaga kesucian diri), jika belum ada kemampuan pada diri anak untuk menikah. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian , hendaklah kamu berbuat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagaian dari harta Allah yang di karuniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa.” (An-Nur 33) Juga diantara hal yang termasuk adabul isti’faf ini adalah shaum ‘uzzab (puasanya seorang pemuda yang belum mampu untuk menikah). Berdasarkan hadits berikut: “Wahai para pemuda, siapapun diantara kalian telah mampu ba’ah maka hendaklah ia menikah, sedangkan bagi yang belum mampu hendaklah ia berpuasa karena puasa itu merupakan benteng baginya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Komentar

Postingan Populer