KISAH KEBIADADABAN PKI TERHADAP NKRI
I. PKI : "Jamban adalah Kuburan Kalian!"
Ambisiku untuk menjadi Bupati Blora, sudah ada di depan mata. Jalan di depanku begitu lempang, tanpa aral, dan bermandikan cahaya. Aku tak perlu mengendap seperti tikus masuk gorong-gorong lagi dalam memperjuangkan komunisme di masyarakat luas. Sudah pasti, penghujung tahun 1948 ini adalah tahun kemenanganku.
Sejuk sekali dada dan kepalaku ketika aku mendengar di radio. Bahwa guru ideologiku, Kamerad Muso yang agung, telah memproklamirkan Republik Soviet Indonesia di Madiun pada 18 September 1948. Darah dalam tubuh yang cukup lama membeku, telah mendidih kembali.
Meskipun tak bisa langsung ketemu dengannya, Kamerad Muso telah mengangkatku sebagai ketua Front Demokrasi Rakyat (FDR) Partai Komunis Indonesia Cabang Blora. Aku yakin dengan mimpiku ini. Karena Kamerad Muso telah mendapatkan kekuatan tentara yang mau mengikuti paham komunis, dan pasukan senjata cukup lengkap dari Stalin di Rusia.
Blora yang menjadi salah satu lumbung padi tanah Jawa, seluas ribuan kilometer persegi, akan ada dalam genggamanku. Sudah kubayangkan, aku bersama istriku, berkeliling di desa desa Blora saat panen raya hingga senja. Saat makan siang, aku akan berkumpul bersama mereka, sembari memahamkan kepada mereka tentang konsep sama rasa sama rata.
Sebagai putra petani kecil Dusun Pohendeng, Tamanrejo, Tunjungan, Blora, aku akan membawa kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Namun, aku tak boleh terlalu melambung dahulu.
Langkah pertama yang harus kuutamakan, adalah menguatkan pengaruh ideologi komunisme di masyarakat. Partai Komunis Indonesia harus lebih dipercaya daripada rombongan Partai Nasional Indonesia (PNI) milik Soekarno penghianat dan Masyumi Islam yang brengsek itu. Kalau perlu, para kyai dan santri yang menentang, harus kuhabisi atau kusembelih!
Sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Kamerad Muso, aku segera mengumpulkan pemuda komunis dan mantan PKI yang pernah memberontak di tahun 1926. Aku akan perintahkan mereka segera membuat lubang-lubang di seluruh desa yang akan segera indah berwarna darah. Lubang-lubang itu akan segera penuh dengan darah dan potongan tubuh para penentang komunisme.
Anak-anak buahku kusuruh memanggilku Kamerad Mulyanto. Mereka semua taat kepada garis komando untuk segera membuat lubang. Di desaku sendiri, Pohrendeng, lubang itu telah kupersiapkan. Letaknya sekitar 100 meter dari gapura masuk ke dusun Pohrendeng dan sekitar 50 meter dari jalan raya.
Letak sumur tersebut disamping sebuah rel kereta api. Sehingga, itu bisa menjadi demonstrasi untuk menakuti penduduk desa agar takut dengan Mulyanto. Gembong ketua FDR Blora yang sebentar lagi akan menjadi Bupati.
Langkah kedua, aku langsung membuat suasana Blora lebih mencekam. Anak buah komunis ku telah berhasil menyebarkan desas-desus, bahwa sumur-sumur telah diracuni. Akibatnya, setiap malam menjadi sangat sepi. Tak ada yang berani keluar rumah.
Terorku berhasil. Kepala Desa Kedungringin, bernama Mastur, yang telah menjabat sejak zaman penjajahan Jepang, tidak mau tidur di rumahnya karena mendapatkan ancaman dari simpatisan PKI.
Agar kekuasaan segera ada dalam genggamanku, aku langsung melakukan penculikan terhadap lima orang tokoh masyarakat dari unsur PNI maupun Masyumi di Blora. Agar tak ada orang-orang desa yang menghalangiku, aku dan anak buahku membuat isu, semua penduduk harus sembunyi kompeni Belanda akan datang.
II. PKI: "Menculik Semua Tokoh Kunci Blora"
Saat semua penduduk sudah sembunyi, aku dan anak buahku berhasil menculik Abu Umar, Mr. Iskandar, dr. Susanto, Gunandar, dan Oetoro. Dari Blora, kubawa mereka ke dusun Pohrendeng dengan menggunakan mobil.
Dua dari lima orang yang kutangkap, adalah pejabat daerah. Pertama adalah Mr. Iskandar yang merupakan Presiden Landraad pada Pengadilan Negeri Blora sejak penjajahan Belanda dan Jepang. Saat Indonesia merdeka, ia menjadi bupati Bloraia. Ia harus segera kusembelih agar aku segera bisa menjadi Bupati.
Target kedua yang harus meregang nyawa adalah Oetoro, seorang camat di Margorojo. Ia memang harus mati karena punya pengaruh besar kepada masyarakat untuk menolak komunisme.
Kelima tahanan ini kusekap selama lima hari di Pohrendeng. Lalu, para tahanan kubawa ke sebuah sumur yang terletak di dekat rel kereta api. Dengan tertangkapnya mereka, kekuasaan sudah ada dalam genggamanku.
Setelah sampai di sumur tersebut, aku memerintahkan empat orang sebagai algojo yang sudah kulatih. Mereka adalah Sukiyo, Tarip, Suroto, dan Sambong. Mr. Iskandar dr. Susanto, Gunandar, dan Oetoro kusembeli satu per satu. Setelah kepala lepas dari tubuh, mayatnya kumasukkan ke dalam sumur.
III. PKI : "Susah Disembelih, Abu Umar Dimasukkan Langsung ke dalam Sumur"
Celakanya, hal aneh terjadi pada Abu Umar. Meskipun telah kucoba kusembelih berkali-kali, tetapi ternyata golok yang digunakan tidak mempan, dia ternyata punya ilmu kanuragan kebal tubuh. Dari pada kami pusing, akhirnya Abu Umar langsung kumasukkan ke dalam sumur, lalu kulempari dengan batu-batu besar sebanyak-banyaknya hingga tertimbun tak kelihatan lagi.
Setelah berhasil membunuh tokoh-tokoh kunci dalam birokrasi Blora, aku melenyapkan pejabat-pejabat yang menentangku, penduduk biasa yang menentang, juga kami sembelih.
Para penentang yang kusembelih beramai-ramai adalah para ulama Islam dan santri. Beberapa di antaranya kutembak, atau kubakar sampai mati, atau kucincang-cincang menjadi potongan-potongan kecil.
Masjid dan Madrasah sebagai penopang kekuatan Islam juga kubakar. Rumah-rumah penduduk yang tak mau memberikan harta Bendanya kepada Republik Indonesia Soviet, kami rampok dan kami rusak.
Tak boleh ada yang punya harta lebih dari 500 perak. Semua hasil bumi harus didaftarkan. Tanah dan perkebunan harus menjadi milik bersama dan kemakmuran bersama.
IV. PKI: "Jasad-jasad Polisi Dimasukkan ke dalam Jamban"
Aku betul-betul bisa menari dan berpesta pada 18 September 1948 itu. Tepat di hari saat Kamerad Muso menggumumkan Republik Soviet Indonesia, aku dan anak buahku menyerang markas kepolisian distrik Ngawen (Blora). Sebanyak 24 anggota polisi kusekap. Tujuh polisi yang masih muda kupisahkan.
Pada tanggal 20 September 1948, ada perintah dari pemerintah pusat di Madiun untuk mengeksekusi mereka. Sebanyak 17 polisi yang sudah tua kami sembelih ramai-ramai.
Sedangkan 7 orang anggota polisi muda, kami bawa ke suatu tempat terbuka dekat kakus di belakang Kawedanan. Kami ingin senang senang dan menyiksa mereka dahulu.
Secara bergantian tujuh tawanan itu ditelanjangi sampai tak mengenakan apapun. Lalu, mereka kami siksa pelan-pelan, leher mereka kami jepit dua batang bambu yang dipegangi ujungnya oleh dua orang.
Ketika mereka mengerang-erang kesakitan, kami seperti mendengar biola yang digesek-gesek dengan indahnya. Pasukanku bersorak gembira.
Sebagian polisi ada yang kami cincang, lalu kami buang ke dalam kakus atau jamban besar. Mereka kami samakan dengan kotoran kami. Sebagian ada juga yang kami tembaki. Hari itu, kami luar biasa senang.
(Ayat-ayat yang Disembelih, PANJIMAS)
Komentar
Posting Komentar