WAHABI: Antara Stigmatisasi & Adu Domba Umat Islam
Oleh:
Ustadz Tiar Anwar Bachtiar (PERSIS)
Salah satu persoalan yang hari ini sedang muncul ke permukaan adalah hubungan Sunni-Syiah seiring dengan meletusnya perang di Suriah yang akhirnya menjadi jelas sebagai perang Sunni-Syiah.
Kalangan Syiah tidak berani secara terbuka menunjukkan permusuhan mereka kepada Ahlus-Sunnah.
Secara politis hal itu hanya akan memunculkan solidaritas Sunni di seluruh dunia untuk melindungi keyakinan mereka; dan apabila solidaritas itu muncul, negara-negara Sunni bersatu bukan tandingan negara Syiah seperti Iran dan rezim Assad di Suriah.
Iran dan Syiah pada umumnya cukup cerdik memainkan media. Mereka masuk ke dalam konflik modern di kalangan umat Islam sendiri. Konflik yang mereka pilih adalah antara pendukung gerakan Muhammad ibn Abdul Wahhab (baca: Wahabi) dengan penentangnya.
Umumnya penentang gerakan Wahabi ini adalah kalangan tradisionalis bermazhab Syafii yang memiliki pengikut paling banyak di berbagai belahan dunia. Sementara gerakan Wahabi bukan mainstream. Syiah masuk ke dalam konflik yang sudah cukup lama ini dengan mengambil posisi berlawanan dengan Wahabi.
Posisi ini kelihatannya tidak diambil karena kalangan tradisionalis tidak menolak Syiah, tetapi lebih pada strategi diplomasi dengan kelompok yang lebih besar. Kalangan tradisionalis, sekalipun berkonflik dengan Wahabi, tetapi sebagai Sunni tetap menolak secara mendasar ajaran-ajaran Syiah.
Akan tetapi di beberapa tempat, kalangan tradisionalis ini lebih mudah untuk disusupi, walaupun sebenarnya tegas menolak Syiah sehingga Syiah lebih leluasa untuk masuk kepada kelompok ini.
Oleh sebab itu, sebagai aksi nyatanya di dalam berbagai media cetak, elektronik, maupun dunia maya, Syiah secara atraktif menyebut musuh mereka adalah Wahabi, Salafy, atau Takfiri. Ketiga istilah itu kira-kira ditujukan untuk objek yang sama.
Pemilihan Wahabi sebagai musuh Syiah di media ternyata cukup mengecoh umat Islam. Kalangan tradisionalis yang selama ini memang banyak mengkritik pemikiran dan gerakan Wahabi ini seolah mendapat tenaga untuk kembali mengungkit luka lama.
Banyak yang terjebak mendukung Syiah dan menghantam Wahabi yang sama-sama Sunni. Syiah dianggap sebagai mazhab, sementara Wahabi dianggap sempalan. Padahal, sepanjang sejarah tidak pernah kaum Sunni menyebut Syiah sebagai “mazhab” dalam Islam. Bagaimana syubhat ini terjadi, makalah berikut akan mencoba menelusuri silang sengkarut masalah Wahabi dan Syiah ini.
Wahabi dalam Literatur para Pengkritiknya di Indonesia
Belakangan ini literatur tentang tema “Wahabi” dibanjiri dengan banyak buku yang bernada menyudutkan dan menjelek-jelekkan. Tentu saja segera muncul pula buku bantahannya, namun jumlahnya masih tetap lebih banyak yang menyerang Wahabi.
Umumnya buku-buku tersebut ditulis oleh penulis dengan nama pena mereka atau nama alias yang tidak dikenal. Secara psikologis ini menunjukkan “ketakutan” penulisnya untuk membuktikan bahwa dirinya memang sedang memperjuangkan sesuatu yang benar.
Buku paling fenomenal adalah yang ditulis oleh Syekh Idahram (nama samaran). Buku yang ditulisnya dibuat dalam tiga jilid dengan judul-judul yang bombastik dan berbau fitnah seperti Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, dan Ulama Sejagad Menggugat salafi Wahabi.
Ada juga buku lain berjudul Radikalisme Sekte Wahabiyyah karangan Syekh Fathi Al-Azhari (nama samaran); dan Khawarij dan Dajjal ada di Indonesia tulisan K.H. Alawi Nurul Alam Al-Bantani yang sebelumnya menulis buku stensilan yang cukup menghebohkan warga Bandung berjudul Ustadz Persis Bertanya Al-Bantani Menjawab.
Keenam buku tersebut semuanya berisi caci maki dan tuduhan yang sangat keji terhadap kelompok yang disebut-sebut dalam buku itu sebagai “Wahabi”. Sejak judulnya, buku-buku tersebut sudah berisi kecaman dan tuduhan yang tidak mengenakkan. Apalagi kalau kita masuk ke dalam buku-buku tersebut.
Namun sayang, seringkali istilah “Wahabi” yang ada dalam buku-buku tersebut amat kabur, tidak jelas entah ke mana arahnya sehingga stigma Wahabi bisa diarahkan kepada siapa saja yang diinginkan oleh penulisnya. Jelas secara ilmiah tulisan-tulisan semacam ini adalah karya picisan dan kacangan, sekalipun pembaca dikelabui dengan sederet catatan kaki berisi rujukan-rujukan yang kelihatannya amat meyakinkan.
Kita lihat misalnya dalam buku Syaikh Idahram yang disebut sebagai Wahabi adalah pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahhab. Terkadang namanya berubah menjadi “Salafi”.
Tokoh yang dianggap sebagai rujukan ketika berubah istilahnya menjadi Salafi adalah Nashiruddin Al-Albani (Sejarah Berdarah…, hal. 26). Akan tetapi, ujung-ujung ajarannya bermuara kepada Muhammad ibnu Abdil Wahhab sehingga tetap disebut sebagai Wahabi.
Mengenai siapa yang layak disebut “Wahabi” di Indonesia, Idahram rupanya tidak terlalu berani untuk menyebut organisasi pembaharu seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad sebagai “Wahabi”.
Ia hanya menyebutnya sebagai memiliki “kesamaan ide” bukan “kesamaan faham”, tapi tidak dijelaskan apa maksudnya. Ia bahkan tidak memasukkan Ikhwanul Muslimin dan Hizbut-Tahrir sebagai bagian di dalamnya. Idahram lebih fokus pada tokoh-tokoh yang menamakan dirinya di Indonesia sebagai “Salafi” seperti Ja’far Umar Thalib, Umar As-Sewed, Abu Qatadah, dan lainnya. (Sejarah Berdarah… hal. 45).
Oleh sebab itu, serangan Idahram lebih diarahkan kepada kelompok “Salafi” dengan seluruh varian dan afiliasinya.
Sementara itu, dalam buku Al-Bantani, istilah Wahabi ia beri garis miring Persis: PERSIS/WAHABI (Persis Bertanya…hal. Pengantar) Itu menunjukkan bahwa yang dimaksud Wahabi oleh Al-Bantani juga termasuk yang idenya sama seperti Persis, mungkin juga Muhammadiyah dan Al-Irsyad.
Al-Bantani bahkan tidak menyebut satu pun istilah “Salafi” pada bukunya yang pertama. Ia baru menyebut istilah itu pada buku keduanya, Khawarij dan Dajjal (Salafi Wahabi) Ada di Indonesia. Cukup mengherankan, pada buku keduanya ia hanya menyebut dua istilah, yaitu “Salafi” dan “Wahabi”. Tapi sampai akhir bukunya, tidak ada penjelasan tentang frasa “Ada di Indonesia” yang ia tulis di cover bukunya.
Ia hanya menjelaskan tentang Muhammad ibn Abdul Wahhab dan kecaman terhadapnya. Buku keduanya ini malah sangat banyak mengutip ketiga buku Idahram.
Ketidakjelasan mengidentifikasi siapa yang dimaksud “Wahabi” dalam berbagai tulisan yang menyudutkan kelompok Wahabi menyebabkan istilah ini menjadi sangat bias. Apalagi ketika sampai di kalangan awam. Dengan mudah orang awam menyebut semua orang yang anti-Maulid dan anti-Tahlilan sebagai Wahabi tanpa mempertimbangkan lagi alasan dan argumentasi yang melatarinya.
Pada momen-momen tertentu seperti musim Pilpres, Pilkada, dan Pileg isu semacam ini bahkan seperti diobral untuk menjatuhkan lawan-lawan politik calon tertentu dengan tuduhan “Wahabi”. Akhirnya, istilah “Wahabi” berkembang bukan sebagai sebuah istilah ilmiah yang objektif, melainkan sebagai stigmatisasi negatif.
Setiap kali disebut kata “Wahabi” seolah melekat secara otomatis segala konotasi negatif seperti teroris, radikal, keras, intoleran, dan semisalnya.
Memang semenjak pertama kali muncul dalam kosakata umat Islam pada abad ke-19 istilah ini bukan suatu istilah ilmiah, melainkan sebagai stigmatisasi negatif untuk mendiskreditkan gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibnu Abdul Wahhab di Uyainah Nejd.
Gerakan ini dianggap membahayakan kepentingan kolonialisme di Timur Tengah terutama setelah berhasil mendapatkan back up politik dan militer dari penguasa Uyainah keluarga Ibnu Sa’ud. Klan ini bahkan sanggup menyatukan Nejd dan Hijaz di bawah satu kekuasaan tahun 1924 dan mendirikan Kerajaan Saudi Arabia.
Banyak kepentingan kolonialisme yang terganggu oleh gerakan ini sehingga perlu ada upaya pelemahan salah satunya memberikan stigma ideologis negatif terhadap pilihan mazhab penguasa ini, yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Untuk kepentingan penciptaan citra buruk pada gerakan ini, maka disebarkanlah berbagai tulisan yang konon dinasabkan kepada suadara Muhammad ibnu Abdul Wahab, yaitu Sulaiman ibnu Abdul Wahab.
Ada pula yang mengklaim bahwa Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Masjidil Haram saat keluarga Ibnu Saud berkuasa juga menulis buku yang mengecam ajaran-ajaran Wahabi. Kecaman terhadap Wahabi ini semakin menjadi-jadi seiring dengan banyak amalan berbagai kelompok yang dikritik oleh dakwah Wahabi seperti perayaan Maulid Nabi, perayaan Isra Mi’raj, membangun kuburan, ziarah kubur orang-orang shaleh, dan semisalnya.
Oleh sebab kolaborasi antara kepentingan kolonialisme yang merasa terganggu dengan dakwah Wahhabiyah dengan kelompok umat Islam yang juga merasa amalan-amalan mereka pun telah diotak-atik, maka fitnah terhadap Wahhabiyah pun semakin mendapatkan momentumnya. Setelah terstigmakan secara negatif dengan sangat mudah Wahhabiyah ini dituduh berada di belakang berbagai tindak kejahatan seperti terorisme.
Wahabi dan Syiah
Ketidakjelasan dan stigmatisasi negatif terhadap Wahabi semakin keruh lagi ketika pemain yang ikut menyerang wahabi bertambah, yaitu dari kalangan Syiah. Sebetulnya, bagi Syiah bukan hanya Wahabi yang dianggap sebagai musuh malainkan seluruh Ahlus-Sunnah (baca: Sunni).
Akan tetapi, setelah Revolusi Iran tahun 1979, salah satu musuh serius yang dihadapi Syiah adalah dari kalangan Wahabi ini. Oleh sebab itu, stigmatisasi negatif yang sudah sejak lama muncul menjadi semakin kencang karena didukung oleh kekuatan Syiah internasional yang sangat tidak senang dengan keberadaan kelompok Sunni yang satu ini.
Kalau memperhatikan berbagai tulisan dari para penulis Syiah kontemporer, permusuhan dan kebencian mereka kepada Wahabi ini terlihat sangat luar biasa besarnya. Akan tetapi, tidak ada argumen baru untuk menyerang Wahabi dari kalangan Syiah, selain yang sudah tersebar sejak awal abad ke-20 seperti yang bisa dibaca dalam buku-buku Idahram dan yang lainnya di atas.
Kalangan Syiah ini hanya semakin membesar-besarkan character assassination yang telah lama dialamatkan kepada Wahabi. Syiah hanya memanfaatkan kelompok Sunni yang tidak senang dengan Wahabi untuk semakin memojokkan posisi Wahabi, tapi pada saat yang sama mereka “cuci tangan” atas serangan mereka.
Strategi ini selain digunakan untuk melemahkan Wahabi juga untuk memecah-belah Sunni yang secara umum menjadi musuh besar mereka.
Dalam hal ini dapat dilihat kasus buku Syaikh Idahram. Beberapa penulis berkesimpulan bahwa buku Idahram ini diduga kuat dibuat oleh aktivis Syiah atau minimal yang bersimpati pada Syiah dan membenci Wahabi.
Faktanya, terhadap Wahabi Syaikh Idahram ini amat benci sampai mebutakan matanya sama sekali terhadap banyak kebenaran yang dibawa oleh Wahabi. Akan tetapi, pada saat yang sama ia menunjukkan simpatinya terhadap Syiah. Beberapa kutipan berikut dari bukunya Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi memperlihatkan hal tersebut.
(1). Pada bulan Safar 1221 H/1806 M, Saud menyerang an-Najaf Al-Asyraf, namun hanya sampai di As-Sur (pagar perlindungan). Meskipun gagal menguasai An-Najad, tetapi banyak penduduk tak berdosa mati terbunuh (hal. 104-105)
(2). Dalam Islam, sedikitnya ada 7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam Ja’far ash-Shadiq (Mazhab Ahlul Bait), mazhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas, Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal. Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud azh-Zhahiri. Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (hal. 208)
Dua kutipan ini cukup menunjukkan bahwa penulisnya adalah Syiah atau—minimal—simpatisan Syiah. Pada kutipan pertama penulis menyebut kata “An-Najaf Al-Asyraf”. Najaf adalah salah satu kota suci orang Syiah. Mereka selalu akan menyebut kota ini dengan sebutan Al-Asyraf (yang paling mulia).
Orang Syiah berkeyakinan bahwa kota ini lebih suci daripada kota Mekah dan Madinah. Kalau penulisnya benar-benar Syiah, ia menulis hal ini dengan keyakinannya. Bila hanya simpatisan, ia hanya latah saja menyebut kota ini dengan tambahan “al-asraf”. Kalau kemungkinan kedua yang terjadi berarti orang ini sudah termakan propaganda Syiah mengadu domba kalangan Sunni.
Pada kutipan kedua, jelas sekali penulis menyetujui Syiah dianggap sebagai salah satu mazhab dalam Islam (Mazhab Imam Ja’far Ash-Shadiq dan Mazhab Syiah Imamiyah), sedangkan Mazhab Salaf yang sering dilontarkan oleh Wahabi ditolak tanpa ada penjelasan apa yang dimaksud mazhab Salaf oleh ulama yang dituding Wahabi oleh penulis ini.
Kutipan ini semakin memperjelas kecenderungannya kepada Syiah. Bisa jadi dia adalah Syiah sungguhan yang tengah melakukan propaganda di kalangan Ahlus-Sunnah, atau Sunni yang sudah termakan provokasi Syiah sehingga dia menganggap Syiah lebih baik dan lebih layak dijadikan teman daripada kelompok yang disebutnya sebagai Wahabi.
Kebencian Syiah terhadap Wahabi akan segera dengan mudah ditemukan apabila kita masuk ke dalam website, blog, atau grup di sosial media yang dibuat oleh orang-orang Syiah. Bahkan saat ini sudah hampir menjadi stereotyping di kalangan Syiah bahwa musuh utama mereka adalah Saudi dan Wahabi.
Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa Syiah begitu benci terhadap Wahabi.
Pertama, Wahabi dianggap sebagai gerakan paling serius dalam mengungkap ajaran-ajaran Syiah dan segi-segi kesesatannya terhadap umat Islam di seluruh dunia. Sebagaimana dimaklumi bahwa gerakan Wahabi ini berakar pada pemikiran-pemikiran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibnu Taimiyyah adalah salah satu ulama yang paling serius menguliti Syiah sampai ke akar-akarnya. Buku tebalnya Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah adalah salah satu tulisannya yang membongkar akidah Syiah dan segi-segi kesesatannya dari sudut pandang Islam. Hampir semua kritik terhadap Syiah setelah periode Ibnu Taimiyyah selalu merujuk pada kitab ini. Buku ini berisi argumen ilmiah yang sangat mendasar yang sulit untuk dibantah, sehingga siapa pun yang memahami buku ini dengan baik akan berkesimpulan bahwa Syiah bukan Islam. Kalau buku sampai tersebar luas, maka akan semakin sulit bagi Syiah untuk melancarkan misinya di tengah-tengah umat Islam karena segera akan diketahui bahwa keyakinannya berbeda sama sekali dengan keyakinan Islam.
Kedua, secara sengaja atau tidak ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahhab yang sangat anti terhadap Syiah ini didukung oleh penguasa Saudi Arabia. Bahkan, kebijakan Saudi soal Syiah pun sangat ketat sampai-sampai Saudi tidak memperkenankan orang Syiah menjadi warga negaranya. Kebijakan ini tentu menyulitkan Syiah untuk melakukan penetrasi ke kota pusat ibadah umat Islam, Mekah dan Madinah. Oleh sebab itu, hampir semua Negara dan gerakan Syiah tidak suka dengan penguasa Saudi Arabia.
Ketiga, secara geopolitik saat ini Saudi Arabia masih tercatat sebagai negara di Teluk Arab yang paling kuat. Salah satu buktinya adalah peristiwa Arab Springs yang melanda berbagai Negara Arab. Satu-satunya negara yang tahan dari guncangan Arab Springs adalah Saudi Arabia. Ini menunjukkan bahwa kekuatan internal Kerajaan Saudi Arabia cukup tangguh. Sebagaimana dimaklumi bahwa Iran tengah berusaha untuk menjadi pemain utama di Timur Tengah. Negara ini bahkan ingin membangun Imperium Syiah di kawasan ini. Penetrasi ke wilayah ini telah dilakukannya segera setelah revolusi Iran dengan menciptakan gerakan boneka Iran Hizbullah di Lebanon. Selain itu, Iran juga terus menjalin hubungan persahabatan sangat erat dengan Rezim Asaad di Suriah. Iran pun mendapat keuntungan besar dari runtuhnya rezim Saddam Hussein di Irak hingga saat ini yang berhasil menjadi penguasa di Irak adalah Syiah. Ganjalan paling seirus yang dihadari Iran dan gerakan Syiah dunia adalah Saudi Arabia. Oleh sebab itu, sekuat tenaga mereka akan melakukan stigmatisasi negatif terhadap Kerajaan Saudi Arabia agar semakin lemah di mata umat Islam.
Keempat, strategi adu domba di kalangan Ahlus-Sunnah. Syiah tahu bahwa di kalangan Ahlus-Sunnah ada yang tidak senang dengan kemunculan gerakan Wahabi di Saudi ini. Sudah sejak lama pula mereka yang tidak setuju melancarkan berbagai serangan negatif terhadap Wahabi ini. Salah satu strategi dalam membelah musuh adalah dengan menginjak yang satu dan mengangkat yang lain, mirip seperti membelah bambu. Strategi ini dikenal pula dengan sebutan “strategi belah bambu.” Untuk tujuan ini, secara serius kalangan Syiah memberikan dukungan penuh kepada mereka yang tidak setuju pada gerakan Wahabi. Tidak segan-segan pula menunjukkan persahabatan dan persaudaraan mereka di hadapan kelompok-kelompok yang tidak setuju pada Wahabi ini.
Meluruskan Wahabi-phobia
Sama seperti halnya Islamophobia di Barat yang justru melahirkan kepenasaranan publik Barat terhadap Islam, Wahabi-phobia pun menimbulkan banyak kepenasaranan di kalangan umat. Kepenasaranan seperti inilah yang mengundang orang-orang Barat mempelajari Islam secara objektif. Hasilnya, banyak di antara mereka yang malah tertarik pada Islam dan akhirnya masuk Islam.
Terhadap Wahabi pun demikian. Kepenasaranan mengundang orang untuk membaca literatur-literatur yang ditulis oleh para ulama yang dituduh sebagai Wahabi seperti karangan Muhammad ibn Abudl Wahhab sendiri, Abdullah ibn Bazz, Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Jamil Zainu, Shalih Fauzan, dan sebagainya.
Bahkan buku-buku Ibnu Taimiyyah yang dianggap sebagai fondasi dasar pemikiran Wahabi pun menjadi salah satu warisan yang banyak dipelajari. Setelah banyak yang membaca tidak sedikit yang akhirnya malah bersimpati. Saat ini dakwah Wahabi atau Salafi justru malah semakin berkembang. Bahkan cenderung lebih atraktif karena mampu mengakses media masa lebih luas seperti radio, televisi, majalah, dan penerbitan buku-buku.
Kelihatannya, dibanding dengan gerakan-gerakan dakwah yang telah ada lebih dulu seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Irsyad, PUI, Mathla’ul-Anwar, Perti, dan lainnya para aktivis dakwah Salafi ini lebih melek media.
Radio dan televisi dakwah yang dimiliki para aktivis Salafi lebih banyak dan beragam jenisnya dari mulai tivi kabel, tivi web, radio, dan sebagainya. Bahkan kini mulai bergerak ke televisi publik melalui berbagai acara bukan hanya pengajian. Program yang paling popular antar lain Khazanah di Trans 7 yang cukup digemari para pemirsa saat ini.
Isi programnya sangat dipengaruhi oleh pendapat-pendapat aktivis dakwah Salafi-Wahabi. Pemanfaatan media yang sangat spektakuler adalah penerbitan buku. Hampir 70 persen lebih penerbitan buku-buku Islam didominasi oleh para aktivis Salafi, baik kerangan langsung maupun terjemahan.
Abdul Moqsith Ghazali, tokoh Liberal NU, mengakui salah satu kelebihan dakwah Wahabi (sepanjang yang disebut Wahabi adalah “Salafi” yang merujuk kepada ulama-ulama di atas) ini adalah mampu mengkongkritkan konsep tauhid yang terlampau abstrak. Teologi tauhid ala Sunni, kata Moqsith, adalah sangat rumit sebanding dengan konsep teologi Katholik-Romawi.
Di tangan orang-orang Wahabi, konsep tauhid yang tadinya rumit dan abstrak itu menjadi lebih sederhana dan lebih konkrit. Orang-orang Wahabi tidak mau bermain dengan filsafat dan definisi-definisi yang rumit sehingga ajarannya mudah dicerna oleh awam. Mengenai hal ini disampaikan Moqsith dalam bedah buku karya Idahram di Litbang Departemen Agama 11 Juni 2011. (AM Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi, hal. 93).
Karena kelebihan itulah setelah karya-karya ulama Wahabi itu diterbitkan dalam edisi terjemahan dan dibaca banyak yang akhirnya tertarik. Konsepnya yang sederhana, aplikatif, dan meyakinkan membuat ajaran-ajaran mereka mudah diterima.
Selain itu, karena dalam menggerakkan dakwahnya di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, gerakan ini bersifat sangat filantropis, maka semakin banyak orang yang bersimpati. Gerakan dakwah Wahabi inilah yang saat ini banyak mendirikan pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi tanpa berbayar sedikit pun.
Di mana-mana mendirikan masjid tanpa meminta dana kepada masyarakat sekitar, membangun asrama anak-anak yatim, membagi-bagikan hewan Qurban, membagi-bagikan ifthar gratis, menyumbang untuk bencana alam, dan sebagainya. Gerakan filantropis kelompok dakwah inilah yang semakin meyakinkan umat terhadap dakwah Wahabi.
Apa yang dituduhkan dan difitnahkan kepada kelompok ini sebagian besar tidak terbukti di lapangan. Bahkan ketika terorisme muncul ke permukaan dan dituduhkan kepada Wahabi, segera muncul bantahan dan penjelasan dari para ulama Wahabi ini tentang sikap dan pandangan mereka atas pengeboman, jihad, dan sebagainya.
Sekalipun begitu, stigma terorisme tetap diasal-usulkan pada Wahabi dengan istilah lain, yaitu adanya kelompok “Salafi Jihadi” atau “Wahabi Jihadi”, walaupun varian ini kelihatannya agak dipaksakan. Mengenai varian baru Wahabi ini tentu butuh penjelasan ilmiah panjang dan perlu diuji secara serius. Apalagi sejak awal memang definisi apa yang disebut “Wahabi” dan “Salafi” pun tidak begitu jelas.
Hal lain yang juga menarik dari gerakan dakwah ini adalah sifatnya yang cair dan tidak mau mengikatkan diri pada organisasi gerakan tertentu, baik yang bersifat local, regional, maupun global. Orang hanya diajak untuk mengikuti ajaran yang disampaikan tanpa harus dibaiat menjadi anggota organisasi atau partai tertentu.
Ini berlainan dengan sebagian gerakan dakwah Islam di Indonesia. Umumnya gerakan dakwah mengorganisasikan diri sehingga ada kecenderungan orang-orang yang didakwahi takut untuk diajak masuk organisasinya, padahal belum mendengar apa yang disampaikan.
Berlainan dengan dakwah Salafi-Wahabi yang cenderung cair. Ini menjadi keuntungan tersendiri sehingga dakwah ini dapat masuk ke wilayah manapun tanpa takut diajak masuk organisasi tertentu. Dengan cara ini, sebagian masyarakat menjadi tertarik dengan ajaran-ajarannya.
Namun demikian, sebagai kelompok dakwah, sekalipun tidak mengorganisasikan diri secara khusus dakwah Salafi-Wahabi ini tetap secara sosiologis harus menerima kategori tertentu di tengah masyarakat sebagai “kelompok” yang memiliki karakter dan ciri khas tertentu, terutama ketika yang bersangkutan tidak mau bergabung dengan kelompok manapun yang sudah ada.
Kategori ini secara tidak langsung telah membentuk jamaah pengajian Salafi-Wahabi komunitas tersendiri yang terpisah dari komunitas lain sekalipun pada praktiknya tidak memiliki organisasi yang terstruktur.
Realitas ini tentu saja akan memaksa kelompok dakwah ini harus berdampingan dengan kelompok-kelompok dakwah lain yang sudah terlebih dahulu mengorganisasikan diri. Sekalipun banyak ide-ide dari para ulama pelopor dakwah Salafi-Wahabi yang digunakan oleh gerakan dakwah lain, namun dalam ranah pergaulan sosial kelompok Salafi-Wahabi ini akan dianggap sebagai “orang lain” yang datang belakangan.
Oleh sebab itu akan berlaku hukum pergaulan seperti dengan organisasi atau kelompok lain pada umumnya. Akan ada yang tidak senang karena ada posisi dan aset yang terganggu; akan ada yang tersinggung karena disinggung beberapa hal yang sensitif. Ketegangan juga bisa diselesaikan melalui komunikasi yang baik dan intensif sehingga kelompok dakwah ini dapat berdampingan dengan yang lainnya.
Ketidaksenangan beberapa ormas yang merasa terganggu dengan kehadiran para da’i Salafi-Wahabi ini tidak menutup kemungkinan memunculkan kembali isu lama yang mencoba menyudutkan gerakan dakwah ini seperti yang terjadi pada awal kemunculan dakwah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Tuduhan-tuduhan miring kaum kolonial terhadap kelompok Wahabi ini pasti akan muncul kembali seperti tuduhan aliran sesat yang bukan Ahlus-Sunnah, Khawarij, antek kolonial, dan sebagainya. Isu semacam ini sudah banyak diklarifikasi oleh para penulis dan aktivis dakwah Wahabi sebagaimana secara umum sebagiannya akan dikutip pada tulisan ini.
‘Ala kulli hâl, kemunculan kelompok dakwah Salafi-Wahabi ini adalah merupakan varian dalam pengembangan dan perluasan dakwah di dunia ini yang harus diapresiasi. Persoalan ada perbedaan pendapat dalam beberapa hal dengan kelompok dakwah lain adalah sesuatu yang lumrah sepanjang yang menjadi objek ikhtilaf adalah perkara-perkara furu’iyyah.
Memang ada masalah akidah yang juga diperdebatkan, namun bukan materi akidah yang ushûl, muttafaq, dan qath’i, melainkan masalah akidah yang sifatnya furû’iyyah. Ini tentu saja harus menjadi sesuatu yang dimaklumi. Pendapat kelompok ini jangan terlebih dahulu ditolak sebelum ditelaah apa yang dibicarakannya sehingga dapat terjadi mutual-understanding saat berhadapan dengan kolompok ini.
Sumber: Persatuan Islam website
Komentar
Posting Komentar