KHUTBAH IDUL FITHRI 1439 H/2018 M*) Silaturahim; Hakekat dan Keutamaannya Oleh: Izzudin Karimi, Lc.

KHUTBAH IDUL FITHRI 1439 H/2018 M*)
Silaturahim; Hakekat dan Keutamaannya
Oleh: Izzudin Karimi, Lc.

Kaum Muslimin Jama’ah Shalat ‘Id Ra’himakumullah

Hari ini, Idul Fitri adalah hari yang mulia dan
berbahagia. Sebagai umat Islam kita merayakannya setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, sebagai wujud ketaatan kepada Allah demi meraih derajat takwa. Merayakan Idul Fitri berarti mengisinya dengan hal-hal yang baik dan positif, salah satunya adalah menjalin silaturahim dan mempereratnya kembali. Inilah saat yang tepat dan momen yang pas untuk itu, mengapa? Karena di hari-hari lain kita disibukkan oleh berbagai pekerjaan dan tuntutan hidup, sehingga waktu untuk silaturahim pun terasa kurang dan sempit, karena itu kita pun mungkin sulit melakukannya, tetapi di hari ini, tidak ada alasan sibuk dengan semua itu, karena semua orang tahu bahwa hari ini adalah hari libur bahkan mungkin untuk beberapa hari ke depan. Jadi yang paling relevan dalam kesempatan yang berbahagia ini adalah silaturahim.

Kaum Muslimin Jama’ah Shalat ‘Id Rahimakumullah

Seseorang tidak lahir sendiri, tidak hidup sendiri. Dia diikat oleh lingkaran di mana dia tidak mungkin terlepas darinya, dengan sendiri, dia adalah lemah dan bukan apa apa, tetapi dengan lingkaran tersebut, dia menjadi kuat dan memiliki eksistensi, lingkaran tersebut tiada lain adalah rahim (keluarga dan kerabat). Dari sini maka Islam mengajak kepada silaturahim, menjalin hubungan rahim. Dan rahim yang mesti dijalin adalah kerabat dari bapak ibunya ke atas, dan kerabat dari anak-anaknya ke bawah, serta dari saudara-saudaranya ke samping, semua itu termasuk ke dalam rahim yang layak: “Diamlah”. Ia menjawab: “Ini adalah kesempatan berlindung kepadaMu dari pemutusan”. Allah berfirman: “Apakah kamu tidak rela Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?”. Ia menjawab : “Ya, ya Rabbi”. Allah berfirman : “Itu untukmu”. Abu Hurairah berkata : “‘Bacalah kalau kamu mau : “Maka apakah jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1696, dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1764)

Kaum Muslimin Jama’ah Shalat ‘Id Rahimakumullah

Silaturahim sendiri paling tidak mempunyai dua keutamaan penting. Yang pertama : Ia melapangkan rizki dan memanjangkan umur. Hal ini disabdakan sendiri oleh Rasulullah :ُ“Barangsiapa senang dilapangkan rizkinya dan dipanjang￾kan umurnya maka hendaknya bersilaturahim.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas, Mukhtashar Shahih al￾Bukhari, no. 940, dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1762).

Silaturahim melapangkan rizki, yakni menjadi sebab (turunnya) rizki, karena dengannya hubungan kerabat menjadi lebih erat, dorongan membantu kepada yang membutuhkan dari mereka akan menguat pula, dan bagi yang membantu akan diberi ganti oleh Allah dengan yang lebih baik. Di samping itu dengan silaturahim terjadi saling men￾doakan dengan kebaikan yang salah satunya adalah kelapangan rizki. Silaturahim memberi umur panjang. Ada yang berpendapat bahwa umur panjang di sini adalah nama baik yang dikenang setelah kematian, dia dikenang sebab kebaikannya semasa hidup, di mana salah satunya adalah silaturahim, lebih-lebih hal itu di kalangan keluarga dan kerabat. Yang lain berpendapat bahwa panjang umur di sini adalah panjang umur dalam arti sebenarnya, artinya Allah mentakdirkan panjang umur atas yang bersangkutan dengan sebab silaturahim, sama seperti Allah mentakdirkan surga dan neraka dengan sebab masing-masing, dan barangsiapa yang Allah mentakdirkan atasnya sesuatu niscaya hal itu akan dimudahkan baginya, dan kesempatan ini bukanlah kesempatan untuk memaparkan dalil dari masing-masing pendapat di atas. Yang jelas apabila suatu dalil yang mungkin mempunyai tafsir ganda yang tidak saling bertentangan dan tidak terdapat dalil lain yang membatalkannya, maka kedua tafsir tersebut sama-sama mungkin.

Kaum Muslimin Jama’ah Shalat ‘Id Rahimakumullah

Keutamaan penting kedua dari silaturahim adalah ia merupakan salah satu perbuatan yang membawa pelakunya mengetuk pintu Surga. Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam : “Ya Rasulullah, katakan kepadaku suatu amal yang memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka.” Rasulullah sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Hendaknya kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahim”. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Ayyub al-Anshari. Shahih alBukhari, no. 5903 dan Shahih Muslim, no. 14).

Adakah keutamaan yang melebihi keutamaan suatu amal yang dinyatakan oleh Rasulullah sebagai satu amal yang mengantarkan kepada surga? Hal ini akan lebih jelas dan gamblang apabila kita menengok sisi yang berlawanan yaitu pemutusan silaturahim, apa ancaman bagi pelakunya? Dia diancam tidak masuk Surga. Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :“Tidak masuk surga seorang pemutus. Sufyan (salah seorang rawi) berkata, ‘Yakni pemutus silaturahim.” (HR. al-Bukhari dan Mus-lim dari Jubair bin Muth’im, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1916, dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1765)

Benar-benar merugi orang yang diancam tidak masuk Surga, maka ketika Allah menjelaskan sifat-sifat orang yang merugi, Dia menyebutkan bahwa salah satu sifat mereka adalah memutus sesuatu yang Allah perintahkan untuk disambung, yang salah satunya adalah rahim. Firman Allah: “(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 27)

Dalam ayat di atas, Allah menyandingkan pemutusan rahim dengan membuat kerusakan di muka bumi, bahkan mengategorikannya sebagai perbuatan merusak, bagaimana tidak merusak? Kalau jalinan rahim putus, maka yang muncul adalah kebencian, kemarahan dan permusuhan, bukankah ini kerusakan? Bentuk aplikatif dari silaturahim adalah sesuai dengan situasi dan kondisi diri kita dengan situasi dan kondisi kerabat yang bersangkutan. Berikut ini beberapa bentuk perbuatan yang merupakan realisasi dari silaturahim :

A. Ihsan atau berbuat baik kepada mereka
Firman Allah : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya.” (Al-Isra`: 26) Berbuat baik bisa dengan harta, bisa dengan tenaga dan bisa pula dengan kedudukan. Ini dilakukan kepada kerabat yang membutuhkan sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Apabila dia membutuhkan bantuan harta misalnya, sedangkan kita mampu membantunya, maka silaturahim kepadanya adalah dengan membantunya di bidang harta. Berbuat baik tidak harus saat kerabat sedang membutuhkan, dalam kon￾disi normal pun berbuat baik tetaplah baik, di manapun kebaikan itu ditanam, maka ia tidak akan terbuang sia-sia. Jika berbuat baik secara umum dianjurkan, maka lebih-lebih kepada kerabat, karena ia mengandung nilai ganda atau pahala ganda, yaitu nilai berbuat baiknya itu sendiri dan nilai silaturahim yang dikandungnya, Allah menyebutkan kerabat setelah kedua orang tua dalam pemberian kebaikan. FirmanNya: “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan, hendak￾lah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat...” (Al￾Baqarah: 215)

Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud datang kepada Rasulullah dan bertanya kepada beliau melalui Bilal: “Bolehkan aku bersedekah kepada suamiku dan anak-anak yatim yang dalam pemeliharaan-ku?” Lalu Bilal bertanya,

maka Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab : “Ya, dia meraih dua pahala: Pahala kerabat (silaturahim) dan pahala sedekah” (HR. al-Bukhari dan Muslim, Mukh￾tashar Shahih al-Bukhari, no. 704 dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 528)

Maimunah binti al-Harits, salah seorang istri Rasulullah memerdekakan seorang hamba sahaya perempuan miliknya tanpa memberitahu Nabi sebelumnya. Ketika datang hari di mana Nabi menggilirnya, maka dia berkata : “Ya Rasulullah, apakah engkau merasa aku telah memerdekakan hamba sahayaku? Rasulullah menjawab, “Apakah kamu telah melakukannya?” Dia menjawab, “Ya.” Nabi bersabda: “Ketahuilah, seandainya kamu memberikannya kepada paman-paman dari ibumu niscaya ia lebih besar pahala￾nya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1106 dan Mukhta-shar Shahih Muslim, no. 530)

Berbuat baik kepada kerabat tidak terbatas kepada kerabat yang seiman, dengan kerabat yang berbeda iman pun peluangnya tetap terbuka, dengan catatan yang bersangkutan tidak memusuhi Islam. Firman Allah Ta’ala : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak (pula) mengusirmu dari negeri￾mu. Sesungguhnya Allah me-nyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Di antara kerabat Nabi terdapat orang-orang yang meno￾lak dakwah beliau, meskipun demikian, hal itu tidak meng￾halangi beliau menunaikan hak kekerabatan kepada mereka:
“Sesungguhnya keluarga bapakku (yang tidak beriman)bukanlah wali-waliku, sesungguhnya wali-waliku hanya￾lah Allah dan orang-orang shalih yang beriman, hanya saja mereka mempunyai hak rahim yang akan aku berikan sebagaimana layaknya.” (HR. al-Bukhari, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1918)

Menyambung kerabat yang berbeda agama, maka Rasulullah mengamalkannya sendiri, beliau juga mengajak sahabat-sahabat beliau agar melakukannya pula. “Dari Abu Hurairah dari Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa seorang laki-laki mengunjungi seorang saudaranya di desa lain, Allah mengutus seorang malaikat mengawasinya di jalannya. Ketika malaikat itu mendatanginya, dia bertanya: ”Kamu hendak ke mana?” Dia menjawab: “Kepada saudaraku di desa ini”. Malaikat bertanya: “Apakah kedatanganmu ini untuk kepentingannya yang memang harus kamu jaga padanya?” Laki-laki itu menjawab : “Tidak, aku hanya mencintainya karena Allah.” Malaikat berkata: “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karenaNya”. (HR. Muslim,
Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1769)

Lihatlah bagaimana laki-laki tersebut meraih kecintaan dari Allah dengan kunjungannya yang tulus, bukan karena kepentingan tertentu kepada saudaranya seiman. Lalu bagaimana jika saudara-nya tersebut adalah kerabatnya juga?

Kaum Muslimin Jama’ah Shalat ‘Id Rahimakumullah

C. Dakwah kepada keluarga dan kerabat

Termasuk realisasi silaturahim adalah berdakwah kepada mereka, mengajarkan apa yang belum mereka ketahui dari perkara agama, atau jika kerabat tersebut beragama lain maka mengajaknya memeluk Islam dengan cara yang baik, atau memberi nasihat kepada yang menyimpang dari mereka demi meluruskannya dan mengembalikannya ke jalan yang benar. Berdakwah adalah kewajiban setiap Muslim, masing-masing dengan kemampuan yang dimiliki, kepada kaum Muslimin secara umum. Jika demikian, bukankah kerabat kita, orang￾orang yang dekat dengan kita dari sisi hubu-ngan darah lebih layak kita dakwahi sebelum orang-orang jauh? Bukankah rahim kita termasuk keluarga kita yang menjadi tanggung jawab kita untuk melindunginya dari api Neraka? Firman Allah Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka.” (At-Tahrim: 6)

Inilah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan teladannya dalam hal silaturahim dengan berdakwah kepada keluarga besarnya. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata :“Ketika turun ayat, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”, maka Nabi mengundang orang-orang Quraisy, maka mereka berkumpul. Nabi memanggil secara umum dan khusus. Beliau bersabda: “Wahai Bani Ka’ab bin Luay, selamatkanlah dirimu dari Neraka ! Wahai Bani Murrah bin Ka’ab, selamatkanlah diri kalian dari Neraka! Wahai Bani Abd Syams, selamatkanlah diri kalian dari Neraka! Wahai Bani Abd Manaf, selamatkanlah diri kalian dari Neraka!

Wahai Bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari Neraka! Wahai Bani Abdul Mutthalib, selamatkanlah diri kalian dari Neraka! Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari Neraka! Sesungguhnya aku tidak mempunyai kemampuan untuk melindungi kalian di depan Allah, hanya saja kalian mempunyai hubungan rahim denganku yang akan aku berikan sebagaimana layaknya”. (HR. Muslim, Mukhtashar Shahih Muslim, no. 98)

D. Tidak menyakiti keluarga dan kerabat

Termasuk wujud silaturahim adalah tidak mengucapkan dan melakukan sesuatu yang menyakiti orang yang memiliki hubungan rahim dengan kita, menahan lidah dan anggota badan sehingga tidak menjadi penyebab terputusnya silaturahim. Berapa banyak hubungan sesama Muslim, sesama teman, sesama tetangga dan sesama kerabat yang terputus gara-gara lidah yang tidak dikendalikan atau anggota badan yang kebablasan. Siapa pun tidak berharap disakiti, dan apabila hal itu terjadi maka luka hati adalah seperti kaca pecah, sulit dikembalikan kepada keadaannya semula.

Kaum Muslimin Jama’ah Shalat ‘Id Rahimakumullah

Rasulullah sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Seorang Muslim (sejati) adalah orang yang mana kaum Muslimin lainnya selamat dari (bahaya) lidah dan tangannya”. (HR. al-Bu-khari dan Muslim dari Abdullah bin Amr, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 10 dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 69).

Bukankah kerabat juga termasuk kaum Muslimin? Bahkan mereka lebih pantas untuk selamat dari bahaya lidah dan tangan kita. Bagaimana jika kita menyakiti orang yang memiliki hubungan rahim? Meminta maaf adalah jalan terbaik demi menyambung silaturahim, di samping itu kesalahan kepada manusia yang dibawa mati akan dituntut oleh pemilik hak di akhirat nanti. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah sallallahu ‘alahi Wasallam bersabda: “Barangsiapa berbuat aniaya kepada seseorang terkait dengan kehormatannya atau lainnya, maka hendaknya dia meminta maaf dari kesalahannya tersebut pada hari ini sebelum dinar dan dirham tidak berguna. Jika dia mempunyai amal shalih, maka diambil darinya sesuai dengan kadar kezhalimannya, jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang-orang yang dizhalimi diambil dan dipikulkan atasnya”. (HR. al-Bukhari, Mukh￾tashar Shahih al-Bukhari, no. 1062).

Kita tidak ingin hal ini terjadi pada diri kita di akhirat nanti, karena kebaikan yang kita miliki belum tentu mencukupi, lebih-lebih diambil, karena keburukan kita sudah banyak, lebih-lebih harus memikul milik orang lain, dan dia bisa jadi adalah salah seorang yang memiliki hubungan rahim dengan kita.

Kaum Muslimin Jama’ah Shalat ‘Id Rahimakumullah

Terakhir, terdapat silaturahim yang bernilai tinggi, di mana tidak semua orang mampu melakukannya. Siapa yang mampu, maka dia berhak menyandang gelar penyambung silaturahim sejati. Silaturahim yang bagaimana? Simak sabda Nabi sallallahu ‘Alaihi Wasallam berikut : “Bukanlah (disebut) penyambung silaturahim (sejati) orang yang membalas dengan semisal, akan tetapi orang yang menyambung tali silaturahim adalah orang yang bila diputuskan rahim orang yang memiliki hubungan rahim, justru dia berusaha menyambungnya.”. al-Bukhari dari Abdullah bin Amr, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1919)

Inilah silaturahim yang tiada tanding, karena pelakunya mampu menghadapi keburukan dengan kebaikan yang nantinya akan menghasilkan kebaikan. Firman Allah subhanahu Wata’ala: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah olah telah menjadi teman yang sangat setia”. (Al-Fushshilat: 34)
____________
*)Yayasan Al-Sofwa

Komentar

Postingan Populer