Nasib Studi Islam di Perguruan Tinggi

Di sejumlah universitas Islam, orang tua rela membayar uang masuk ratusan juta rupiah, agar anaknya bisa diterima di Fakultas Kedokteran. Sementara, sangat sedikit yang berminat masuk ke fakultas/jurusan Tarbiyah, Ushuluddin, Syariah, atau Dakwah, meskipun biaya pendidikan di situ sangat murah dan bahkan ada yang digratiskan. Tentu tidak sulit memahami masalah ini. Kuliyah di kedokteran dianggap lebih menjamin masa depan, lebih bergengsi, dibandingkan kuliah di fakultas dakwah. Pada hari-hari ini, seperti biasa menyongsong tahun ajaran baru, banyak orang tua dan juga siswa yang sibuk bertanya, kemana akan melanjutkan kuliah? Banyak kampus sudah memasang iklan di media massa, mempromosikan program studi di kampus masing-masing. Seperti biasa, program studi Islam di berbagai perguruan tinggi Islam pun mulai menyiapkan diri untuk menggaet dan menerima mahasiswa baru. Menteri Agama RI belum lama ini menyampaikan, bahwa untuk saat ini, perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) distop dulu. Sekarang, hanya ada UIN di seluruh Indonesia. Menteri Agama khawatir, pembukaan UIN akan semakin meminggirkan program studi Islam di kampus tersebut, sebagaimana yang terjadi selama ini. Sebab, bukan rahasia lagi, para mahasiswa dan orang tuanya, lebih banyak yang berminat memasuki program-program studi umum yang dibayangkan akan lebih menjamin masa depan. Di sejumlah universitas Islam, orang tua rela membayar uang masuk ratusan juta rupiah, agar anaknya bisa diterima di Fakultas Kedokteran. Sementara, sangat sedikit yang berminat masuk ke fakultas/jurusan Tarbiyah, Ushuluddin, Syariah, atau Dakwah, meskipun biaya pendidikan di situ sangat murah dan bahkan ada yang digratiskan. Tentu tidak sulit memahami masalah ini. Kuliyah di kedokteran dianggap lebih menjamin masa depan, lebih bergengsi, dibandingkan kuliah di fakultas dakwah. Kondisi seperti ini berlangsung sejak dulu. Apa yang terjadi kemudian adalah fakta bahwa banyak yang mengambil program studi Islam adalah anak-anak yang kondisi intelektual dan ekonominya pas-pasan. Banyak yang tidak terlalu bersemangat untuk mengambil studi Islam. Ini sering dikeluhkan oleh berbagai praktisi pendidikan Islam. Anak-anak pinter di SMA hampir tidak ada yang bercita-cita menjadi guru agama, meskipun meraka adalah para aktivis Islam di sekolahnya, atau meskipun orang tuanya adalah tokoh agama. Ringkasnya, hingga kini, studi Islam masih belum menarik minat banyak mahasiswa dan orang tua yang dikaruniai kelebihan akal dan harta. Masalah ini sudah berlangsung berpuluh tahun dan belum banyak berubah. Tidak bisa tidak, umat Islam harus memikirkan masalah ini dengan serius dan mencarikan jalan keluarnya. Dalam iklim materialisme yang mendominasi masyarakat, memang tidak mudah untuk menawarkan program studi Islam yang menanamkan nilai-nilai keikhlasan dan orientasi akhirat. Pondok Pesantren yang dulu hanya mengandalkan pendidikan agama ‘non-ijazah negeri’ – untuk menjaga keikhlasan dalam menuntut ilmu – mulai banyak yang berkompromi dengan kurikulum sekolah negeri agar bisa mendapatkan ijazah. Sebab, ijazah itulah yang dibutuhkan untuk mencari kerja. Untuk membenani masalah ini, mau tidak mau, harus dimulai dari kampus Islam itu sendiri. Kampus Islam harus berbenah diri, meningkatkan kualitasnya, dan serius dalam menyelenggarakan program studi Islam. Tidak boleh ada yang asal-asalan membuat program studi Islam, apalagi melakukan jual beli gelar. Kampus Islam harus berpijak kepada keilmuan Islam dan menerapkannya dalam kurikulum dan sistem pendidikannya. Program studi Islam haruslah menjadi yang terbaik. Para dosennya seharusnya merupakan dosen-dosen terbaik dan bersungguh-sungguh dalam mengajar. Tentu saja, kampus itu harus menyediakan imbalan yang memadai untuk dosen yang baik. Di berbagai kampus Islam, masih ada yang honor dosennya sekitar Rp 40 ribu sekali datang, atau yang lebih rendah dari itu. Jumlah itu pun masih dipotong transport. Dengan honor seperti itu, tentulah sulit bagi dosen untuk menekuni bidangnya, membeli buku-buku yang diperlukan, dan membuat makalah-makalah yang berkualitas. Alasan yang diberikan, honor kecil, karena memang SPP murah dan jumlah mahasiswa sedikit. SPP murah, karena minat untuk belajar Islam kurang. Jadilah semacam lingkaran setan. Bagaimana memotong lingkaran ini? Caranya, pertama, umat Islam harus turun tangan. Orang-orang yang berkelebihan rizki perlu menginfakkanhartanya untuk membantu kesejahteraan guru dan dosen. Mereka perlu disadarkan, bahwa masalah studi Islam adalah masalah mendasar yang harus ditangani dengan baik. Pendidikan Islam di perguruan tinggi harus menjadi prioritas pembenahan umat, sebab dari kampus inilah diharapkan lahir sarjana, cendekiawan, atau ulama yang diharapkan akan menjadi ‘bintang’ bagi masyarakatnya. Kedua, anak-anak Muslim yang memiliki kecerdasan tinggi perlu didorong untuk mengambil program studi Islam. Jika mereka sudah mengambil program-program studi ilmu-ilmu umum, maka mereka juga perlu mengambil kuliah dalam studi Islam, sehingga mereka menguasai ilmu-ilmu keagamaan dengan baik, sebagaimana program profesi mereka. Dalam kaitan inilah, seyogyanya, kampus-kampus umum sudah harus mulai berbenah diri untuk membuka program studi Islam. Saat ini kampus-kampus umum mulai berlomba-lomba membuka program studi Ekonomi Syariah. Tetapi, motivasi yang dipromosikan adalah, bahwa alumni program studi itu akan mudah untuk mencari kerja di luar, karena kini banyak insitusi ekonomi yang membuka layanan syariah. Sebuah perguruan tinggi terkenal di Jakarta yang menyelenggarakan program studi Islam dan Ekonomi Syariah membuat brosur yang menyebutkan, bahwa “sebagian besar alumninya telah terserap di beberapa instansi baik pemerintah maupun swasta.” Tentu saja, ini hal yang baik. Tetapi, jika niat sudah keliru – mencari ilmu bukan untuk meningkatkan ibadah kepada Allah – maka bukan tidak mungkin, akan terjadi penyimpangan dalam aplikasinya di lapangan nanti. Ekonomi syariah adalah manifestasi dari pelaksanaan aqidah Islam, dan program ekonomi syariah harus dilandasi dengan semangat iman dan kecintaan kepada syariah; bukan karena di situ ada keuntungan materi yang besar untuk mengeruk keuntungan. Jika motivasi ini yang digunakan, maka tidak ada bedanya dengan kaum kapitalis yang saat ini juga berlomba-lomba menjalankan ekonomi syariah karena di situ ada keuntungan materi, seperti yang dilakukan sejumlah bank asing dan negara seperti Singapura. Jika satu kampus dibuat untuk sekedar mencetak para pekerja yang akan mengisi pos-pos kerja, maka kampus telah berfungsi sebagai satu industri. Padahal, pendidikan dalam Islam adalah satu upaya pembentukan manusia yang beradab yang menguasai ilmu-ilmu fardhu ain dengan baik dan memiliki satu keahlian untuk bekerja. Manusia yang beradab inilah tujuan yang utama dari pendidikan Islam. Kampus-kampus Islam yang utama dan pertama haruslah menekankan masalah ini. Dari mana hal ini dimulai? Tentu harus dimulai dari pimpinan dan dosen-dosen di kampus. Adalah sangat sulit kita berharap akan lahir sarjana yang beradab, jika dosennya sendiri tidak beradab. Akan sulit melahirkan sarjana yang mencintai ilmu dan kebenaran jika dosen-dosennya sendiri tidak memiliki tradisi ilmu yang baik dan tidak peduli dengan soal benar dan salah. Pada Senin, 16 April 2007 lalu, saya mengisi workshop dakwah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta, yang diikuti para mahasiswa fakultas tersebut. Kepada para mahasiswa yang hadir, saya menyampaikan pentingnya ada gerakan dakwah yang serius yang dimulai dari kampus itu sendiri. Sebelum terjun melakukan dakwah di masyarakat, sudah seyogyanya, para mahasiswa berdakwah ke dalam kampusnya sendiri. Para mahasiswa tidak boleh berdiam diri terhadap segala kemunkaran yang terjadi di dalam kampus, termasuk dan terutama adalah kemunkaran dalam bidang keilmuan. Adalah aneh, jika segala bentuk kemunkaran keilmuan yang merusak Islam dibiarkan berkembang atas nama kebebasan ilmiah dan kebebasan berpendapat. Saya baru saja menerima kiriman Jurnal JUSTISIA Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25 tahun XI 2004. Sampul jurnal ini memuat tulisan yang membuat mata membelalak: “Indahnya Kawin Sesama Jenis”, dengan latar belakang gambar orang-orang gay sedang berpose. Lama saya cermati sampul jurnal terbitan Fakultas Syariah IAIN Semarang ini? Apakah ini bukan hal yang luar biasa? Mengapa pimpinan kampus tenang-tenang saja? Isi artikel jurnal ini sudah diterbitkan dalam sebuah dengan judul yang sama dengan judul sampul jurnal tersebut. Saya bertanya kepada dosen di salah satu kampus di Semarang, apakah penerbitan jurnal dan buku itu tidak menjadi isu besar di Semarang? Dijawab, bahwa hal itu dianggap sebagai bagian dari kebebasan ilmiah. Seperti pernah kita bahas dalam salah satu CAP, dalam buku yang wajah sampulnya sama dengan wajah sampul Jurnal Justisia edisi tersebut, ditutup dengan satu Catatan Penutup berjudul: “Homoseksualitas dan Pernikahan Gay: Suara dari IAIN”. Di bagian inilah ditulis pengantar redaksi Jurnal Justisia yang menyatakan: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan yang kuat bagi siapa pun dengan dalih apa pun untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.” Kita patut merenungkan, apakah ungkapan seperti ini juga merupakan bagian dari kebebasan ilmiah yang dikembangkan di kampus tersebut? Kepada para mahasiswa dan beberapa dosen di Fakultas Dakwah UIN Jakarta, saya secara terbuka menyampaikan harapan, bahwa sebagai orang yang berada di lapangan dakwah, saya sangat prihatin dengan aktivitas sejumlah dosen UIN Jakarta yang tak henti-hentinya menyebarkan paham Pluralisme Agama dan bahkan ada yang menjadi penghulu swasta sejumlah perkawinan beda agama. Apakah hal-hal seperti itu juga dikatakan bagian dari kebebasan ilmiah? Meskipun yang melakukan itu hanya beberapa gelintir dosen, tetapi karena mereka menyebut dirinya sebagai dosen di perguruan tinggi tertentu, maka secara otomatis institusi itu juga terbawa-bawa. Apalagi, mereka memang sengaja membawa-bawa nama kampus mereka dalam beraktivitas. Kita berharap, pimpinan kampus itu melakukan tindakan pro-aktif untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Sudah saatnya, pimpinan kampus dan para dosen di kampus Islam mulai bersungguh-sungguh membangun kinerja dan citra kampus yang benar-benar Islami. Dari situlah kita berharap, para siswa yang cerdas akan tertarik dan bangga sebagai mahasiswa dalam program studi Islam. Mereka tidak akan merasa rendah diri sebagai mahasiswa program studi Islam. Itu semua hanya mungkin dilakukan jika tradisi ilmu dalam Islam diterapkan dengan baik, baik oleh dosen maupun oleh mahasiswa. Disamping UIN/IAIN/STAIN, kita saat ini juga berharap pada sejumlah lembaga pendidikan Islam yang sudah bertahun-tahun menyelenggarakan studi Islam pada tingkat Perguruan Tinggi, kampus-kampus Islam seperti; Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Sekolah Tinggi Agama Islam Lukmanul Hakim Hidayatullah Surabaya, dan sebagainya. Kampus-kampus Islam tersebut sekarang sedang secara serius melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas mutu dosen dan mahasiswanya. Berdasarkan dialog dengan pimpinan lembaga-lembaga pendidikan tinggi tersebut, mereka memiliki semangat dan kesungguhan untuk memperbaiki kampusnya masing-masing. STID Mohammad Natsir, misalnya, disamping memberikan beasiswa untuk para calon dai, juga mulai menerapkan standar pengajaran dalam bahasa Arab. Para tokoh Islam perlu benar-benar memahami, bahwa bidang Studi Islam di Perguruan Tinggi, saat ini sedang menjadi ajang perebutan besar antara Islam dengan Barat. Semakin berjubelnya alumni studi Islam dari Barat di kampus-kampus Islam saat ini, suka atau tidak suka, telah membawa dampak besar terhadap kurikulum dan corak pemikiran Islam di perguruan tinggi dan di masyarakat. Pengaruh itu pun kini sudah mulai terasa sangat kuat di institusi-institusi keagamaan, baik swasta maupun pemerintah. Sekitar lima tahun lagi, jika tidak ada arus tandingan, maka pengaruh itu akan merembet ke masjid-masjid atau majlis-majlis taklim. Jika kampus Islam tertentu merelakan dirinya menjadi satelit dari pemikiran dan peradaban Barat, maka yang rugi adalah kampus itu sendiri, sebab masyarakat Muslim yang sadar akan agamanya, akan enggan menengok kampus itu dan enggan bekerjasama dengan alumni-alumni kampus tersebut. Inilah tantangan dakwah besar dalam bidang pendidikan tinggi Islam yang harus segera dijawab oleh umat Islam Indonesia. Kita tidak hanya butuh sarjana komputer Muslim yang handal atau dokter Muslim yang handal, tetapi juga dosen agama Islam yang handal, guru agama Islam yang handal, khatib Jumat yang handal, wartawan Muslim yang handal, mubalig yang handal, dan sebagainya. Semua itu memerlukan tenaga pengajar yang handal dan mahasiswa yang berkualitas. Tetapi, semua harus dilandasi dengan kerja keras dan keikhlasan. Insyaallah, kita belum terlambat untuk berbuat!. [Depok, 27 April 2007]. [Dr Adian Husaini- adianhusaini.com]

Komentar

Postingan Populer